Minggu, 19 April 2009

PERAN PEMUDA DALAM MENGAWAL PERUBAHAN TRANSISI DEMOKRASI SISTEMIK

MUNAWAR


Dalam sejarah dunia tak satupun gerak perubahan tidak melibatkan kaum pemuda di dalam perubahannya. Hal tersebut disebabkan tingginya resistensi kelompok ini terhadap realitas sosial yang terjadi. pemuda termasuk dalam kelompok ini sehingga setiap perubahan di negeri ini tidak luput dari keterlibatan pemuda Indonesia, yang memicu terjadinya pergerakan Pemuda dalam menyikapi fenomena sosial ini oleh Max Weber dikarenakan oleh “the ethic of absolute ends” atau nilai-nilai luhur (idealisme) yang didapatkan oleh pemuda mahasiswa yang dijadikan sebagai main stream perjuangan dalam menyikapi fenomena sosial, dari sudut pandang inilah sehingga pemuda dikatakan “ agent nilai”, juga nilai-nilai luhur itupunlah yang dijadikan orientasi pemuda dalam mengawal segala perubahan untuk sebuah proses transformasi sosial sehingga pemuda mendapatkan predikat yang tinggi damata masyarakat maupun dimata birokrasi, Maka sangat wajar jika dalam dunia pemuda sendiri, terjadi kemapanan yang berlangsung terus menerus dan cenderung mempertahankan status quo. Melihat fenomena yang dihadapi oleh Gerakan pemuda yang tidak menentu arah dan semakin kurang menariknya kelembagaan pemuda menjadi alasan yang mendasari perlunya kajian intensif dalam rangka memperjelas peran dan posisi pemuda. Karena Gerakan pemuda sebagai pendorong perubahan social selamah ini dianggap mampuh namun pasca Repormasi menjadi tak menentu.

Pemuda Dalam perpesktif kebangsaan

Dalam tinjauan kebangsaan, tak bisa dipungkiri bahwa kemunculan Indonesia hanyalah sebagai sebuah gejala sejarah. Artinya, kemunculannya bukanlah sesuatu yang niscaya. Karena itu, lenyapnya juga bukan suatu ketidakmungkinan. Bangsa bisa muncul tetapi bisa juga lenyap. Di abad 19, Ernest Renan sudah mengingatkan bahwa, “bangsa bukanlah sesuatu yang kekal; mereka telah muncul, mereka akan lenyap...” Sebagai sebuah pemikiran tentunya pernyataan tersebut tidak untuk membangun sikap pesimisme, terlebih lagi untuk memantik perpecahan dalam kehidupan berbangsa tetapi mesti ditanggapi secara ilmiah oleh semua entitas pelaku dalam tatanan keindonesiaan.

Samuel P. Huntington dalam tesisnya tentang negara yang mengalami transisi menyatakan bahwa kegagalan dalam mengelola transisi dapat membawa sebuah negara-bangsa kembali ke otoritarianisme atau neo-otoritarianisme. Sedangkan transisi yang berhasil akan mengarah pada konsolidasi demokrasi menuju pelembagaan demokrasi dan pada akhirnya akan masuk pada sebuah fase pendalaman demokrasi. Disinilah peran strategis pemuda sebagai aktor/pilar demokratisasi dibutuhkan. Dimana secara struktural, pemuda yang kuat akan mampu menciptakan pola hubungan yang kuat antar Negara dan masyarakat. pemuda yang kuat akan efektif untuk melakukan mediasi antara preferensi masyarakat dengan kepentingan elit.

Posisi pemuda dalam Transisi Sistemik

Ada beberapa persoalan mendasar dalam tata kehidupan kontemporer yang seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama mengingat implikasinya yang sangat besar bagi kelangsungan peradaban. Fenomena globalisasi yang mengalami peningkatan intensitas dan berjalan timpang, sehingga cenderung meminggirkan ummat dan bangsa dalam seluruh dinamikanya serta fenomena domestik bangsa yang dicirikan oleh transisi sistemik yang berkepanjangan. Dua fenomena ini, globalisasi yang timpang dan labirin transisi sistemik Indonesia adalah dua persoalan yang saling terkait yang pada intinya menunjukkan kegagalan dalam penataan kelembagaan baik pada tingkatan global dan lokal. Implikasinya kemudian dapat kita tangkap dalam bentuk semakin memburuknya tingkat kesejahteraan masyarakat, kejumudan masyarakat dan terabaikannya dimensi keadilan sosial dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi mereka yang dilemahkan dalam proses yang ada.

Sebagai sebuah proses, globalisasi yang ada hari ini bergantung pada interaksi dari beragam kekuatan dan kepentingan berbeda yang terlibat didalamnya. Letak persoalannya terletak pada ketidakseimbangan kekuatan yang terlibat dalam setiap proses yang ada, ketidakseimbangan dalam pemilikan sumber-daya baik sumber daya pengetahuan maupun sumber daya ekonomi politik. Akibatnya globalisasi tidak menjadi sebuah forum dialogis yang setara dan menguntungkan semua pihak tetapi lebih merepresentasikan kepentingan kelompok yang dominan. Globalisasi ibarat pisau dengan dua sisi yang berbeda, memberi implikasi berbeda kepada seluruh warga negara dunia. Lemahnya kekuatan ummat dan bangsa memberikan penjelasan sederhana mengapa proses yang ada semakin meminggirkan ummat dan bangsa melalui reproduksi kemiskinan massal di negara-negara selatan dan penjinakan kekuatan ummat dengan stigmatisasi radikalisme dan terorisme. Sayangnya kekuatan ummat dan bangsa belum menemukan pola koreksi dan pembaharuan yang tepat atas ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang telanjang.

Di Indonesia sendiri, absennya kemandirian dan perpecahan bangsa menjadikan semakin lemahnya kekuatan bangsa ditengah kompetisi global. Transisi sistemik yang terjadi semenjak jatuhnya Suharto sebagai personalisasi kekuataan orde baru, ternyata belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Transisi politik yang diiringi dengan transisi ekonomi dan transisi menuju desentralisasi menunjukkan kompleksitas permasalahan yang ada. Indonesia adalah negara dengan transisi yang paling sistemik sepanjang sejarah negara-bangsa modern yang tentu saja kompleksitas permasalahannya membutuhkan kerja keras dan kebersamaan dari seluruh anak bangsa. Sayangnya perpecahan yang ada diantara seluruh elemen bangsa akibat kesalahan mengelola masa lalu dengan baik menjadi penghalang bagi upaya membangun kebersamaan dalam mengawal dan menuntaskan transisi. Pada sisi lain, transisi politik yang lebih mengedepankan dimensi proseduralis dan mengabaikan dimensi substansial dari demokrasi, transisi ekonomi menuju sistem ekonomi pasar tanpa diiringi dengan penguatan masyarakat menjadikan transisi yang ada lebih mengakomodasi kepentingan elit dan melupakan aspek kedaulatan rakyat yang seharusnya menjadi orientasi dasar dari transisi yang ada.

Menjelang tahun kedelapan transisi Indonesia, tingkat kesejahteraan masyarakat masih memburuk dibuktikan oleh peningkatan angka kemiskinan dan angka pengagguran serta semakin merosotnya kualitas hidup manusia Indonesia. Hal ini menunjukkan kesalahan arah recovery ekonomi dan demokratisasi yang lebih berorientasi neoliberalisme dengan mengabaikan kedaulatan rakyat dan kemandirian bangsa. Karena itu ada dua prasyarat penting untuk secepatnya keluar dari labirin transisi yaitu mendorong rekonsiliasi nasional sebagai pilar kebersamaan bangsa dan melakukan pembaharuan atas arah transisi kita dengan bersendikan kemandirian dan kedaulatan bangsa. Pada posisi lain kemandirian dan kebersamaan bangsa menjadi modal dasar untuk mengoreksi dan menguatkan posisi bangsa dan ummat dilemahkan diera globalisasi yang ada.

Dalam kerangka mendorong kebersamaan diantara seluruh elemen bangsa dan dalam upaya mengawal transisi dibutuhkan kekuatan alternatif pemuda Posisi ini sebenarnya yang seharusnya diisi oleh kelompok pemuda sebagai calon pemimpin dan karena pertimbangan relatif mininmya kepentingan yang dimiliki oleh kelompok pemuda dan dibanding kelompok lain. Disinilah letak posisi strategis yang dimiliki oleh kepemudaan dengan beberapa sumber daya yang memiliki jaringan yang kuat yang apabila dapat dikelola dengan baik, akan memudahkan pelaksanaan agenda perjuangan yang ada.

Quo Vadis Pemuda

Politik merupakan ruang aktualisasi para regenerasi bangsa ini, maka oleh sebab itu pemuda harus membuka tabir perubahan dalam setiap momen yang sifatnya praktis dengan tujuan untuk memaksimalkan perubahan yang bersifat sistematik. Kita sebagai pemuda harus mampu memberikan pola demokrasi dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang bermartabat dan sejaterah. Sebagai pilar demokrasi pemuda harus melahirkan sebuah momentum perubahan yang besar dalam system bangsa dan umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar