Minggu, 19 April 2009

QUO VADIS PEREKONOMIAN INDONESIA DALAN ARUS GLOBALISASI

MUNAWAR


Kita tak pernah menghadapi keadaan sepelik seperti sekarang ini. Sekedar mengurai benang kusut pun belum banyak kemajuan, apatah lagi menyelesaikan persoalannya. Apalagi data-data yang tersedia kurang memadai untuk menjawab tuntas apa yang sebenarnya sedang terjadi. Oleh karena itu ada baiknya untuk terlebih dahulu memaparkan perkembangan sisi positif dan sisi suram dari perekonomian Indonesia secara apa adanya. Selanjutnya kita mencari konsistensi di antara keduanya serta benang merah yang bisa menjelaskan secara mendalam dari berbagai data dan fakta yang telah terlebih dahulu kita identifikasikan.

Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.

Perlu dicatat bahwa asas kekeluargaan tidak berarti perekonomian Indonesia secara keseluruhan merupakan keluarga besar. Kerjasama dalam usaha seperti koperasi tidak perlu bersifat tolong menolong tetapi bekerja bersama untuk mencapai hasil yang bermanfaat bagi semua. Yang sering dikelirukan juga adalah bahwa di kalangan ekonomi rakyat tidak ada persaingan. Sebaliknya persaingan keras sering terjadi antara usaha-usaha mikro dan kecil namun persaingan yang tidak saling mematikan. Justru dalam kenyataan hanya di antara perusahaan-perusahaan besar terjadi pengelompokan-pengelompokan usaha (grup-grup) kadang-kadang secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk persekongkolan untuk memenangkan persaingan yang melawan kepentingan umum sedangkan dalam usaha-usaha kecil dan mikro persekongkolan seperti ini tidak ada.

Masyarakat yang semakin cerdas kiranya makin paham akan kekeliruan analisis para pakar dan pengamat ekonomi, bahkan termasuk pakar-pakar asing, yang bernada menakut-nakuti karena semata-mata mengacu pada teori ekonomi Neoklasik Amerika yang keliru jika diterapkan di Indonesia. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi bukanlah tak terhindarkan (inevitable) apabila kita bertekad menyiasatinya dengan semangat nasionalisme ekonomi yang tinggi seperti saat menjelang dan awal kemerdekaan bangsa Indonesia.

“Ekonomi Indonesia tidak mungkin pulih dari krisis jika pemerintah dan masyarakat tidak berusaha keras mengadakan investasi atau meningkatkan kembali nilai investasi yang merosot terus sejak krisis tahun 1997/98”. Inilah diagnosis ekonomi khas ekonomi Neoklasik. Sifat khas diagnosis mereka adalah menganggap dunia ekonomi adalah otonom, dianggap lepas (atau bisa dilepas) dari dunia politik, sosial, hukum, dan moral. Memang diagnosis yang lengkap pasti disertai asumsi: jika politik stabil, kondisi sosial pulih, hukum dipatuhi, dan moral bangsa Indonesia kembali baik, maka diagnosis dan prognosis ekonomi ekonomi Indonesia akan demikian itu. Namun masalahnya para ekonom Neoklasik ini tidak merasa perlu menyatakan asumsi-asumsi tersebut, karena diagnosis dan prognosis ekonom selalu disertai asumsi ceteris paribus, yang menurut mereka tidak perlu dikatakan, mestinya orang sudah tahu. Inilah arogansi ilmu ekonomi yang menganggap semua orang sudah tahu metode berpikir para ekonom sehingga tidak dianggap perlu menerangkannya.

KETERGANTUNGAN

Dengan fundamental ekonomi Indonesia seperti ini, tentu saja kebutuhan akan dollar menjadi prinsip dasar bagi bergeraknya produksi domestik. Permintaan ini tanpa diimbangi oleh penawaran dollar tentu saja akan mengimplikasikan pelemahan rupiah secara permanen. Penawaran akan dollar secara fundamental disebabkan oleh beberapa hal seperti investasi asing, peningkatan ekspor bahkan yang paling buruk adalah hutang luar negeri. Sayangnya bahwa laju investasi yang rendah tidak mampu menyediakan pasokan dollar yang memadai akibat rendahnya kinerja investasi asing kita. Kinerja ekspor-impor kita disamping mengalami defisit juga memberikan penjelasan sederhana bahwa eksportir kita ternyata lebih suka memarkir dollarnya di luar negeri sehingga tetap saja cadangan dollar kita tidak mampu mengimbangi angka permintaan yang tinggi. Sementara hutang luar negeri kita sudah menunjukkan negative transfer; lebih banyak yang harus kita bayar daripada yang kita terima. Bahkan hutang luar negeri kita bukan hanya negative trasfer bahkan menunjukkan trend debt trapt; terjebak permanen dalam utang luar negeri.

Situasi ketergantungan yang ada tentu saja akan menjadi lahan empuk bagi para spekulan dan sekaligus menciptakan efek panik. Bayangkan ditengah tingkat kebutuhan akan dollar yang tinggi, baik untuk input produksi domestik, membayar hutang ataupun kebutuhan lainnya yang tidak dapat ditunda. Dan pada saat itu pula spekulan melakukan pembelian besar-besaran terhadap dollar yang terjadi adalah betapapun mahalnya dollar akan kita beli karena kebutuhan yang mendesak dan bayangkan aksi panik yang menyertainya. Pada saat yang bersamaan, langkah intervensi pasar menjadi sangat terbatas akibat rezim kurs dan devisa bebas serta deregulasi di sektor moneter yang telah dipaksakan kekita oleh pemilik modal internasional. Beginilah nasib bangsa yang ekonominya terjajah.

KEMANDIRIAN

Berangkat dari potret ketergantungan diatas, tanpa ada pembenahan pada fundamental ekonomi Indonesia secara radikal, yang terjadi hanyalah pengulangan krisis secara permanen. Harus ada terobosan baru dari pemerintahan yang ada untuk menguatkan perekonomian nasional dan sekaligus menghilangkan ketergantungan yang kita derita. Secara sederhana, bila ekonomi kita tertata secara mandiri, tingkat kebutuhan akan input eksternal seperti barang dan dollar dapat diminimalisir sehingga gejolak mata uang malah akan menguntungkan kita. Karena itu agenda besarnya adalah bagaimana mewujudkan tatanan ekonomi bangsa yang mandiri. Untuk itu dibutuhkan politicall will dari pemerintahan yang ada untuk merombak tatanan perekonomian nasional dalam kerangka mewujudkan kemandirian. Negara-negara lain yang terlibat dalam hubungan internasional sebenarnya menyiapkan tatanan ekonomi bangsanya yang mandiri setelah itu baru berani untuk mendorong isu pasar bebas ataupun keterbukaan ekonomi. Tidak serta merta melakukannya seperti bangsa kita sehingga menjadi sapi perahan dari globalisasi ekonomi yang sedang terjadi.

Dalam kerangka mewujudkan kemandirian ekonomi nasional, yang penting adalah bagaimana mengidentifikasi potensi dan sumber daya yang kita miliki. Potensi pasar dan produsen sebenarnya telah kita miliki, hanya saja praktek rent seeking seperti korupsi dan agenda neoliberalisme telah menggerogoti potensi dan sumber daya tadi. Karena itu, langkah awal untuk mendorong isu kemandirian adalah membersihkan para rent seekers dan neoliberalis tadi dan jalannya hanyalah dengan menguatkan penataan ekonomi nasional. Untuk itu kembali lagi dibutuhkan pemerintahan dengan kabinetnya yang memiliki pemahaman akan masalah dan politicall will untuk melaksanakannya. Sebuah langkah yang nyaris menjadi utopia tapi apa salahnya berharap dan mulai mendesakkannya secara serius?

PERAN PEMUDA DALAM MENGAWAL PERUBAHAN TRANSISI DEMOKRASI SISTEMIK

MUNAWAR


Dalam sejarah dunia tak satupun gerak perubahan tidak melibatkan kaum pemuda di dalam perubahannya. Hal tersebut disebabkan tingginya resistensi kelompok ini terhadap realitas sosial yang terjadi. pemuda termasuk dalam kelompok ini sehingga setiap perubahan di negeri ini tidak luput dari keterlibatan pemuda Indonesia, yang memicu terjadinya pergerakan Pemuda dalam menyikapi fenomena sosial ini oleh Max Weber dikarenakan oleh “the ethic of absolute ends” atau nilai-nilai luhur (idealisme) yang didapatkan oleh pemuda mahasiswa yang dijadikan sebagai main stream perjuangan dalam menyikapi fenomena sosial, dari sudut pandang inilah sehingga pemuda dikatakan “ agent nilai”, juga nilai-nilai luhur itupunlah yang dijadikan orientasi pemuda dalam mengawal segala perubahan untuk sebuah proses transformasi sosial sehingga pemuda mendapatkan predikat yang tinggi damata masyarakat maupun dimata birokrasi, Maka sangat wajar jika dalam dunia pemuda sendiri, terjadi kemapanan yang berlangsung terus menerus dan cenderung mempertahankan status quo. Melihat fenomena yang dihadapi oleh Gerakan pemuda yang tidak menentu arah dan semakin kurang menariknya kelembagaan pemuda menjadi alasan yang mendasari perlunya kajian intensif dalam rangka memperjelas peran dan posisi pemuda. Karena Gerakan pemuda sebagai pendorong perubahan social selamah ini dianggap mampuh namun pasca Repormasi menjadi tak menentu.

Pemuda Dalam perpesktif kebangsaan

Dalam tinjauan kebangsaan, tak bisa dipungkiri bahwa kemunculan Indonesia hanyalah sebagai sebuah gejala sejarah. Artinya, kemunculannya bukanlah sesuatu yang niscaya. Karena itu, lenyapnya juga bukan suatu ketidakmungkinan. Bangsa bisa muncul tetapi bisa juga lenyap. Di abad 19, Ernest Renan sudah mengingatkan bahwa, “bangsa bukanlah sesuatu yang kekal; mereka telah muncul, mereka akan lenyap...” Sebagai sebuah pemikiran tentunya pernyataan tersebut tidak untuk membangun sikap pesimisme, terlebih lagi untuk memantik perpecahan dalam kehidupan berbangsa tetapi mesti ditanggapi secara ilmiah oleh semua entitas pelaku dalam tatanan keindonesiaan.

Samuel P. Huntington dalam tesisnya tentang negara yang mengalami transisi menyatakan bahwa kegagalan dalam mengelola transisi dapat membawa sebuah negara-bangsa kembali ke otoritarianisme atau neo-otoritarianisme. Sedangkan transisi yang berhasil akan mengarah pada konsolidasi demokrasi menuju pelembagaan demokrasi dan pada akhirnya akan masuk pada sebuah fase pendalaman demokrasi. Disinilah peran strategis pemuda sebagai aktor/pilar demokratisasi dibutuhkan. Dimana secara struktural, pemuda yang kuat akan mampu menciptakan pola hubungan yang kuat antar Negara dan masyarakat. pemuda yang kuat akan efektif untuk melakukan mediasi antara preferensi masyarakat dengan kepentingan elit.

Posisi pemuda dalam Transisi Sistemik

Ada beberapa persoalan mendasar dalam tata kehidupan kontemporer yang seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama mengingat implikasinya yang sangat besar bagi kelangsungan peradaban. Fenomena globalisasi yang mengalami peningkatan intensitas dan berjalan timpang, sehingga cenderung meminggirkan ummat dan bangsa dalam seluruh dinamikanya serta fenomena domestik bangsa yang dicirikan oleh transisi sistemik yang berkepanjangan. Dua fenomena ini, globalisasi yang timpang dan labirin transisi sistemik Indonesia adalah dua persoalan yang saling terkait yang pada intinya menunjukkan kegagalan dalam penataan kelembagaan baik pada tingkatan global dan lokal. Implikasinya kemudian dapat kita tangkap dalam bentuk semakin memburuknya tingkat kesejahteraan masyarakat, kejumudan masyarakat dan terabaikannya dimensi keadilan sosial dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi mereka yang dilemahkan dalam proses yang ada.

Sebagai sebuah proses, globalisasi yang ada hari ini bergantung pada interaksi dari beragam kekuatan dan kepentingan berbeda yang terlibat didalamnya. Letak persoalannya terletak pada ketidakseimbangan kekuatan yang terlibat dalam setiap proses yang ada, ketidakseimbangan dalam pemilikan sumber-daya baik sumber daya pengetahuan maupun sumber daya ekonomi politik. Akibatnya globalisasi tidak menjadi sebuah forum dialogis yang setara dan menguntungkan semua pihak tetapi lebih merepresentasikan kepentingan kelompok yang dominan. Globalisasi ibarat pisau dengan dua sisi yang berbeda, memberi implikasi berbeda kepada seluruh warga negara dunia. Lemahnya kekuatan ummat dan bangsa memberikan penjelasan sederhana mengapa proses yang ada semakin meminggirkan ummat dan bangsa melalui reproduksi kemiskinan massal di negara-negara selatan dan penjinakan kekuatan ummat dengan stigmatisasi radikalisme dan terorisme. Sayangnya kekuatan ummat dan bangsa belum menemukan pola koreksi dan pembaharuan yang tepat atas ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang telanjang.

Di Indonesia sendiri, absennya kemandirian dan perpecahan bangsa menjadikan semakin lemahnya kekuatan bangsa ditengah kompetisi global. Transisi sistemik yang terjadi semenjak jatuhnya Suharto sebagai personalisasi kekuataan orde baru, ternyata belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Transisi politik yang diiringi dengan transisi ekonomi dan transisi menuju desentralisasi menunjukkan kompleksitas permasalahan yang ada. Indonesia adalah negara dengan transisi yang paling sistemik sepanjang sejarah negara-bangsa modern yang tentu saja kompleksitas permasalahannya membutuhkan kerja keras dan kebersamaan dari seluruh anak bangsa. Sayangnya perpecahan yang ada diantara seluruh elemen bangsa akibat kesalahan mengelola masa lalu dengan baik menjadi penghalang bagi upaya membangun kebersamaan dalam mengawal dan menuntaskan transisi. Pada sisi lain, transisi politik yang lebih mengedepankan dimensi proseduralis dan mengabaikan dimensi substansial dari demokrasi, transisi ekonomi menuju sistem ekonomi pasar tanpa diiringi dengan penguatan masyarakat menjadikan transisi yang ada lebih mengakomodasi kepentingan elit dan melupakan aspek kedaulatan rakyat yang seharusnya menjadi orientasi dasar dari transisi yang ada.

Menjelang tahun kedelapan transisi Indonesia, tingkat kesejahteraan masyarakat masih memburuk dibuktikan oleh peningkatan angka kemiskinan dan angka pengagguran serta semakin merosotnya kualitas hidup manusia Indonesia. Hal ini menunjukkan kesalahan arah recovery ekonomi dan demokratisasi yang lebih berorientasi neoliberalisme dengan mengabaikan kedaulatan rakyat dan kemandirian bangsa. Karena itu ada dua prasyarat penting untuk secepatnya keluar dari labirin transisi yaitu mendorong rekonsiliasi nasional sebagai pilar kebersamaan bangsa dan melakukan pembaharuan atas arah transisi kita dengan bersendikan kemandirian dan kedaulatan bangsa. Pada posisi lain kemandirian dan kebersamaan bangsa menjadi modal dasar untuk mengoreksi dan menguatkan posisi bangsa dan ummat dilemahkan diera globalisasi yang ada.

Dalam kerangka mendorong kebersamaan diantara seluruh elemen bangsa dan dalam upaya mengawal transisi dibutuhkan kekuatan alternatif pemuda Posisi ini sebenarnya yang seharusnya diisi oleh kelompok pemuda sebagai calon pemimpin dan karena pertimbangan relatif mininmya kepentingan yang dimiliki oleh kelompok pemuda dan dibanding kelompok lain. Disinilah letak posisi strategis yang dimiliki oleh kepemudaan dengan beberapa sumber daya yang memiliki jaringan yang kuat yang apabila dapat dikelola dengan baik, akan memudahkan pelaksanaan agenda perjuangan yang ada.

Quo Vadis Pemuda

Politik merupakan ruang aktualisasi para regenerasi bangsa ini, maka oleh sebab itu pemuda harus membuka tabir perubahan dalam setiap momen yang sifatnya praktis dengan tujuan untuk memaksimalkan perubahan yang bersifat sistematik. Kita sebagai pemuda harus mampu memberikan pola demokrasi dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang bermartabat dan sejaterah. Sebagai pilar demokrasi pemuda harus melahirkan sebuah momentum perubahan yang besar dalam system bangsa dan umat.

Sabtu, 18 April 2009

GAGALNYA GOOD GOVERMENCE KEHUTANAN


Oleh : MUNAWAR. B


Gerakan reformasi sudah berjalan 12 tahun dan sekedar sebuah fenomerna perubahan sosial yang berjalan linear dan deterministik, yang yang diuji secara dialetis. Dalam orde reformasi bangsa indonesia mengisi pembangunan untuk sebuah proses menuju indonesia yang maju. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga dimensi yaitu dimensi pertama ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan pembangunan dari ketiga hal ini merupakan proses yang diprioritaskan dalam pembangunan

Disektor hutan indonesia adalah salah satu korban pembangunan dimana dia dijadikan sapi perah untuk akumulasi modal pembangunan. Ekploitasi pun dilakukan secara besar-besaran tidak cukup juga dengan modal luar negri pemilik modal pun didatangkan walhasil, semua proses pembangunan kehutanan dan tidak seorang pun yang kritis tentang pembangunan tersebut.

Disinilah letak masalah kita sekarang, kebiasaan kita sebagai bangsa indonesia dengan mental inlander, dengan menyebabkan kesadaran sebua proses selalu datang terlambat misalnya sudah kita lihat hutan yang rusak parah baru kita sadar lalu saling menyalakan satu sama lain lempar batu sembunyi tangan akibatnya bukan solusi yang didapatkan sebuah proses apatis.

Kalangan birokrasi mulai apatis dengan kritik kalangan swasta swasta pun apatis dengan tuduhanan dan yang paling parah masyarakat dengan janji-janji perubahan. Kondisi ini sangat kita tidak inginkan hadir dalam masyarakat. Masyarakat membutuhkan perubahan yang nyata dan jelas minimal mampu menberikan kontribusi bagi mereka, bukan janji yang apatsi yang keluar dari mulut kapitalis

Good govermence merupakan kebutuhan bagi semua pihak seharusnya dari dulu digagas sehingga kondisi hutan tidak separah sekarang.Kerusakan hutan indonesia semakin menjadi sentrum perhatian berbagai kalangan. Tekanan politik CGI terhadap pemerintah indonesia yang menuntut adanya komitmen untuk melestarikan hutan menjadi salah satu syarat persetujuan pinjaman dari tahun ke tahun tingkat deforestri diperkirakan 1,5-2,0 juta hektar pertahun.penyebab kerusakan hutan indonesia tingkat domestik, maupun ekspor yang melampaui kapasitas kebutuhan. Hasil yang nihil juga terlihat pada gagalnya penerapan HPH sebagai pengelola hutan tapi justru HPH memberikan kontribusi terhadap pemerintah untuk kepentingan pribadi dari pada untuk masyarakat banyak.

Kondisi diatas mengambarkan bahwa esensi dari persoalan deforestri indonesia bermuarah lemahnya struktur tatanan pengaturan lembaga birokrasi dan partai politikyang tidak kompatible terhadap sistem sosial yang berkembang pada masyarakat. Prodak kebijakan hanya lahir dari konspirasi politik dan ekonomi negara semata. Dimana transparansi akuntabilatas atas kebijakan diabaikan implikasinya karena ketidak mampunya pemerintah membangun aspek kehutanan disisi lain lemahnya tatanan lembaga masyarakat sipil dalam mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Petah gagalnya good govermence indonesia yang pertama kontrol publik masih lemah dalam masyarakat sipil. Kelemahan yang dirasakan dalam masyarakat secara umum adalah pendokumentasian dan sistematis kerja gerakannya kurang sinergis, ada kecendrungan dijadikan asaet politisi untuk kepentingan kepentingan pribadi lahirnya LSM dijadikan alat politik proyek, adanya kompetensi tidak sehat.

Yang kedua keterbatasan wewnang para pengusaha dalam melakukan tata kelola hutan secara efektif karena hak pengelolah masih dipegang pemerintah, perusahan hanya memegang hak ekstrasi ( hak pemanfatan). Dan anehnya pemerintah hanya melakukan aksi eksploitasi hutan sebatas diatas kertas melalui UU dan pengendalianya masih lemah.

Ketiga kesenjangan pemahaman antara pusat dan daerah terhadap desentralisasi kebutuhan, desentralisasi kehutanan yang diharapkan dapat membawa arah kemajuan tatanan sosial forestri tapi justru menjadi dilema. Pusat tidak percaya terhadap daerah mampu melakukan pemanfatan hutan dengan baik. Disentralisasi kehutanan masih disibukan dengan pandangan sebatas perijinan pemanfatan hasil hutan, belum secara luas sebagai mandat pengelolaan hutan negara secara utuh.

Keempat perubahan paradigma state based forest management ke comunity, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa paradigma pengelolaan hutan bergeser dari state based ke komunity

Jadi kondisi good govermence nampaknya masih jauh dari yang diharapkan masih banyak kelemahan baik terjadi dipemerintah, perusahaan dan masyarakat sendiri. Sangat disyangkan kelemahan in sering kali tidak disadari atau secara sengaja ditutupi, pemahaman tentang govermence masih dalam tatanan wacana dan belum secara utuh dapat dimplementasikan.