Sabtu, 18 April 2009

GAGALNYA GOOD GOVERMENCE KEHUTANAN


Oleh : MUNAWAR. B


Gerakan reformasi sudah berjalan 12 tahun dan sekedar sebuah fenomerna perubahan sosial yang berjalan linear dan deterministik, yang yang diuji secara dialetis. Dalam orde reformasi bangsa indonesia mengisi pembangunan untuk sebuah proses menuju indonesia yang maju. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga dimensi yaitu dimensi pertama ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan pembangunan dari ketiga hal ini merupakan proses yang diprioritaskan dalam pembangunan

Disektor hutan indonesia adalah salah satu korban pembangunan dimana dia dijadikan sapi perah untuk akumulasi modal pembangunan. Ekploitasi pun dilakukan secara besar-besaran tidak cukup juga dengan modal luar negri pemilik modal pun didatangkan walhasil, semua proses pembangunan kehutanan dan tidak seorang pun yang kritis tentang pembangunan tersebut.

Disinilah letak masalah kita sekarang, kebiasaan kita sebagai bangsa indonesia dengan mental inlander, dengan menyebabkan kesadaran sebua proses selalu datang terlambat misalnya sudah kita lihat hutan yang rusak parah baru kita sadar lalu saling menyalakan satu sama lain lempar batu sembunyi tangan akibatnya bukan solusi yang didapatkan sebuah proses apatis.

Kalangan birokrasi mulai apatis dengan kritik kalangan swasta swasta pun apatis dengan tuduhanan dan yang paling parah masyarakat dengan janji-janji perubahan. Kondisi ini sangat kita tidak inginkan hadir dalam masyarakat. Masyarakat membutuhkan perubahan yang nyata dan jelas minimal mampu menberikan kontribusi bagi mereka, bukan janji yang apatsi yang keluar dari mulut kapitalis

Good govermence merupakan kebutuhan bagi semua pihak seharusnya dari dulu digagas sehingga kondisi hutan tidak separah sekarang.Kerusakan hutan indonesia semakin menjadi sentrum perhatian berbagai kalangan. Tekanan politik CGI terhadap pemerintah indonesia yang menuntut adanya komitmen untuk melestarikan hutan menjadi salah satu syarat persetujuan pinjaman dari tahun ke tahun tingkat deforestri diperkirakan 1,5-2,0 juta hektar pertahun.penyebab kerusakan hutan indonesia tingkat domestik, maupun ekspor yang melampaui kapasitas kebutuhan. Hasil yang nihil juga terlihat pada gagalnya penerapan HPH sebagai pengelola hutan tapi justru HPH memberikan kontribusi terhadap pemerintah untuk kepentingan pribadi dari pada untuk masyarakat banyak.

Kondisi diatas mengambarkan bahwa esensi dari persoalan deforestri indonesia bermuarah lemahnya struktur tatanan pengaturan lembaga birokrasi dan partai politikyang tidak kompatible terhadap sistem sosial yang berkembang pada masyarakat. Prodak kebijakan hanya lahir dari konspirasi politik dan ekonomi negara semata. Dimana transparansi akuntabilatas atas kebijakan diabaikan implikasinya karena ketidak mampunya pemerintah membangun aspek kehutanan disisi lain lemahnya tatanan lembaga masyarakat sipil dalam mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Petah gagalnya good govermence indonesia yang pertama kontrol publik masih lemah dalam masyarakat sipil. Kelemahan yang dirasakan dalam masyarakat secara umum adalah pendokumentasian dan sistematis kerja gerakannya kurang sinergis, ada kecendrungan dijadikan asaet politisi untuk kepentingan kepentingan pribadi lahirnya LSM dijadikan alat politik proyek, adanya kompetensi tidak sehat.

Yang kedua keterbatasan wewnang para pengusaha dalam melakukan tata kelola hutan secara efektif karena hak pengelolah masih dipegang pemerintah, perusahan hanya memegang hak ekstrasi ( hak pemanfatan). Dan anehnya pemerintah hanya melakukan aksi eksploitasi hutan sebatas diatas kertas melalui UU dan pengendalianya masih lemah.

Ketiga kesenjangan pemahaman antara pusat dan daerah terhadap desentralisasi kebutuhan, desentralisasi kehutanan yang diharapkan dapat membawa arah kemajuan tatanan sosial forestri tapi justru menjadi dilema. Pusat tidak percaya terhadap daerah mampu melakukan pemanfatan hutan dengan baik. Disentralisasi kehutanan masih disibukan dengan pandangan sebatas perijinan pemanfatan hasil hutan, belum secara luas sebagai mandat pengelolaan hutan negara secara utuh.

Keempat perubahan paradigma state based forest management ke comunity, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa paradigma pengelolaan hutan bergeser dari state based ke komunity

Jadi kondisi good govermence nampaknya masih jauh dari yang diharapkan masih banyak kelemahan baik terjadi dipemerintah, perusahaan dan masyarakat sendiri. Sangat disyangkan kelemahan in sering kali tidak disadari atau secara sengaja ditutupi, pemahaman tentang govermence masih dalam tatanan wacana dan belum secara utuh dapat dimplementasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar